FORUM HUTAN RAKYAT-RIMBAWAN
“biNAwaNAenterprise“
Base Camp : Saung Rimbawan, Jl.Raya Ciamis-Banjar Km.4 Ciamis, Jawa Barat
(samping Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Telp.087 826 233 322)
http://www.binawana-enterprise.blogspot.com E-mail : binawanaenterprise@yahoo.com
________________________________________



MODEL TERBARU
KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT
DI KABUPATEN CIAMIS DAN KOTA BANJAR


PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
POLA BAGI HASIL
antara
PEMILIK LAHAN
dengan
RIMBAWAN



Motto :
“ONE FORESTER ONE THOUSAND TREES
ONE YEAR”
(M58)


Ciamis, Mei 2009




I. LATAR BELAKANG

Hutan rakyat belakangan ini menjadi perhatian serius banyak pihak, karena memiliki pengaruh dan dampak yang cukup luas terhadap social, ekonomi, budaya, politik, lingkungan hidup, dll.
Kendati demikian karena beragam masalah yang mengitarinya ditambah pola penanganan yang belum sepenuhnya efektif maka sejauh ini produktivitas hutan rakyat masih jauh dari harapan.
Rendahnya nilai ekonomis hutan rakyat serta rentannya dunia usaha hutan rakyat, disebabkan antara lain oleh :
a. Belum kuatnya kelembagaan usaha hutan rakyat ditambah instrument ekonomi kerakyatan lainnya (seperti koperasi) belum berjalan sebagaimana mestinya

b. Belum optimalnya fungsi pendampingan dan penyuluhan, yang dicirikan oleh rendahnya tingkat pengetahuan petani hutan rakyat mengenai teknik budidaya tanaman hutan

c. Minimnya publikasi hasil riset mengenai jenis-jenis komoditas kehutanan yang menguntungkan

d. Minim informasi dan akses pasar

e. Keterbatasan modal usaha, disebabkan antara lain masih rendahnya keterlibatan kalangan investor dalam usaha hutan rakyat di level hulu

f. Regulasi dan kebijakan pemerintah belum sepenuhnya berpihak kepada pelaku usaha hutan rakyat, boleh jadi sebagai akibat dari pemahaman dan pendekatan searah, ego sektoral, konservatif dan tertutup

g. Pihak-pihak terkait (termasuk pemilik lahan itu sendiri) belum semua sepakat bahwa lahan hutan rakyat adalah suatu ikon berharga, elemen penting lingkungan hidup, peluang usaha dan potensi ekonomis, serta bagian vital dari masa depan

h. Tidak ada keteladanan dan contoh ideal, tidak sedikit pakar dan pejabat yang tampak heroik tetapi hanya berkutat dalam tataran retorik : Memiliki pengetahuan, menguasai, ahli, Kompeten, kavabel tetapi tidak memulai dari diri sendiri


II. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Banyak gagasan telah dijabarkan, banyak factor dan pendekatan telah diperhitungkan, tetapi boleh jadi masih ada factor yang terlupakan.
Jika selama ini sasaran utama penangan lingkungan adalah lahan kritis atau lahan tidak produktif semua sepakat, tetapi sudahkah terlebih dahulu digali dan dikaji secara mendalam akar permasalahannya mengapa lahan-lahan tersebut tidak produktif?
Dari berbagai observasi di lapangan kami menemukan bahwa kondisi penutupan lahan maupun nilai/potensi ekonomis yang ada pada hutan rakyat khususnya di Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar, secara signifikan dapat dibedakan berdasarkan tipe pemilik lahan yang secara garis besar terbagi 2, yaitu :
a. Lahan milik petani murni,
Dapat dicirikan secara umum luasannya relatif kecil, tetapi pola pemanfaatan dan budidaya lahan sudah berjalan. Sedikit banyak kelompok ini telah merasakan manfaat ekonomis dari pengelolaan hutan rakyat

b. Lahan milik petani semu,
Luasannya relative lebih besar tetapi kondisinya secara umum justru terbengkalai/ tidak produktif, biasanya dimiliki oleh kalangan ekonomi yang lebih mampu tetapi pemahamannya terhadap nilai hutan rakyat masih rendah, sehingga memandang hutan rakyat sebagai sesuatu yang tidak prospektif. Diluar itu lahan pada kategori ini juga sebagian dimiliki oleh kalangan yang tidak bermukim di tempat (urban).
Melalui pendekatan tipe pemilikan lahan inilah kami merumuskan suatu pola penanganan hutan rakyat yang secara prioritas ditujukan terhadap lahan tidak produktif pada butir b di atas, dengan membentuk suatu kelembagaan hutan rakyat yang berbeda dibandingkan dengan yang sudah ada selama ini.

Kelembagaan ini melibatkan Rimbawan dalam kapasitasnya sebagai personal untuk tampil secara langsung dan intensif dalam pengelolaan hutan rakyat, yang disamping berorientasi profit juga sekaligus sebagai salah satu bentuk tanggung jawab rimbawan terhadap kondisi hutan rakyat dan lingkungan hidup secara luas.
Kelembagaan tersebut dikemas dalam bentuk Forum Hutan Rakyat – Rimbawan dengan nama “biNAwaNAenterprise“ , suatu model pengelolaan hutan rakyat dengan pola bagi hasil.

III. FORUM HUTAN RAKYAT-RIMBAWAN
“biNAwaNAenterprise“

Forum Hutan Rakyat – Rimbawan “biNAwaNAenterprise“ adalah suatu wadah tempat para rimbawan menuangkan dan mewujudkan ide dan kreasinya tentang hutan rakyat, membuktikan dan mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki sesuai bidang keahliannya. Ketika ide, pandangan dan obsesi rimbawan tidak dapat ditampung oleh lembaga tempat kerjanya karena terhadang aspek formalistic dan legalistic, maka forum ini diharapkan menjadi solusinya.

Dirintis dan dibentuk pada tahun 2005 dengan sasaran kerja prioritas adalah :
1. Bidang Pengembangan Budidaya Hutan Rakyat
2. Bidang Optimalisasi Ragam Pemanfaatan dan Nilai Hasil Hutan Rakyat

Namun demikian sejauh ini baru bidang Pengembangan Budidaya Hutan Rakyat yang sudah berjalan yaitu melalui kelembagaan hutan rakyat, sedangkan bidang Optimalisasi Ragam Pemanfaatan dan Nilai Hasil Hutan Rakyat, masih dalam bentuk wacana dan belum dapat kami realisasikan karena masih terbatasnya sumberdaya yang dimiliki forum.

Karena itu dalam tulisan ini yang akan dikupas lebih lanjut terbatas hanya pada bidang Pengembangan Budidaya Hutan Rakyat (kelembagaan hutan rakyat)

A. Maksud
Memotivasi dan membangkitkan minat rimbawan - sebagai ujung tombak pelaksana pembangunan bidang kehutanan dan merupakan salah satu pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi lingkungan secara umum - tidak lagi hanya berdiri di luar ring tetapi seyogyanya melangkah masuk secara praktis dan intensif, berpadu dan bersungguh-sungguh berperan serta secara aktif, agar dapat meningkatkan nilai ekonomis hutan rakyat dan mutu lingkungan hidup dalam arti luas.

B. Tujuan
Memberi peran dan kontribusi positif bagi lingkungan hidup, menyediakan pasokan bahan baku kayu bagi industri dan masyarakat pada umumnya, meningkatkan pendapatan (profit) terutama bagi rimbawan dan pemilik lahan.

C. Sasaran
1. Memberi solusi dengan memadukan dua pihak yang masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan yang saling mengisi yaitu pemilik lahan yang tidak berminat menggarap lahannya dan rimbawan sebagai penyerta yang berkeinginan mengusahakan hutan rakyat tetapi tidak memiliki lahan

2. Mengubah paradigma dari yang sebelumnya dianggap sepele dan atau tidak mungkin, ternyata merupakan sebuah peluang berharga dan sangat mungkin :
- Rimbawan yang tertarik mengelola hutan rakyat, sebelumnya tidak dapat mewujudkan keinginannya, sekarang hanya dengan 2.5 juta rupiah sudah dapat menanam 1.000 pohon
- Pemilik lahan yang sebelumnya tidak pernah berharap banyak dari lahan miliknya, sekarang menjadi tergugah serta memahami dengan sudut pandang yang positif.

3. Memperkaya keragaman jenis tanaman hutan rakyat dengan mengenalkan jenis-jenis baru yang memiliki keunggulan komparatif sesuai hasil penelitian dan pengembangan Badan Litbang Departemen Kehutanan. Diharapkan jenis baru tersebut bukan hanya menjadi subtitusi terhadap jenis yang ada (ketika arus suplay terganggu atau permintaan meningkat) akan tetapi mampu meningkatkan nilai ekonomis hutan rakyat

D. Ciri Khas Kelembagaan Hutan Rakyat “biNAwaNAenterprise“

1. Melibatkan rimbawan secara personal, bertujuan untuk menggali potensi optimal para rimbawan baik dari sisi keilmuan/ penguasaan teknis, permodalan maupun pelaksanaan penanganan di lapangan, dengan Motto “ONE FORESTER ONE THOUSAND TREES ONE YEAR” (M58),

2. Target lokasi adalah lahan tidak produktif :
- Milik perorangan pada kelompok petani semu,
- Milik badan hukum, dan
- Lahan umum

3. Lembaga forum lebih bersifat perintis, fasilitator dan wadah, dengan manajemen yang terbuka dan parsial bertujuan agar lebih mendorong/ memotivasi para rimbawan sebagai penyerta untuk berperan aktif

4. Bersifat fleksibel dari sisi permodalan, tidak ditaktis dan dikelola oleh forum tetapi cukup memberikan saran dan dorongan kepada penyerta.

5. Biaya relative sangat murah dengan memangkas beberapa pengalokasian biaya yang tidak terlalu prinsipil (bandingkan dengan contoh standar biaya yang secara umum berlaku, lampiran 4).

6. Mengadopsi pola pengusahaan hutan tanaman industry, homogen dan seumur dengan jenis tanaman yang sesuai bagi segmen industry dan masyarakat secara umum

7. Jenis tanaman pionir, mampu beradaptasi pada lahan-lahan marginal, diharapkan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dengan tingkat kesulitan pemeliharaan relative lebih rendah sehingga kebutuhan biaya bisa ditekan seefisien mungkin

8. Jenis tanaman memiliki kualifikasi di atas rata-rata komoditas yang dikembangkan pada hutan rakyat biasa : pertumbuhan yang cepat, kualitas kayu yang lebih baik, lebih tahan hama penyakit, peruntukan dan penggunaan kayu yang lebih luas dan beragam


E. Lembaga Keuangan/ Penyandang Dana

Untuk memberi kemudahan dalam penyiapan biaya bagi rimbawan penyerta, pihak forum akan mejalin kerjasama dengan Koperasi Rimbawan “Daya Malar Raharja” yang berkedudukan di Balai Penelitian Kehutanan Ciamis, untuk mengalokasikan dana talangan sesuai target biaya yang dibutuhkan, terutama untuk kegiatan penanaman.

Koperasi Rimbawan Daya Malar Raharja menjadi pilihan karena disamping merupakan milik sebagian besar rimbawan, juga posisinya yang strategis dengan wilayah kerja dan sebaran anggota yang mencakup seluruh wilayah DAS Citanduy, terdiri dari 5 Kabupaten/Kota yaitu Cilacap, Banjar, Ciamis, Kuningan dan Cirebon


IV. KERANGKA USAHA
A. Pola Bagi Hasil
Perhitungan bagi hasil bervariasi tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, tetapi secara umum bagi hasil yang ditawarkan adalah 30-40% untuk pemilik lahan, 55-65% untuk penyerta dan 5% untuk forum. Sedangkan untuk lahan umum bagi hasil sebesar 30-40% dialokasikan kepada banyak pihak terutama untuk institusi masyarakat yang ada di sekitar lokasi kerjasama, seperti bidang keagamaan (pesantren dan masjid), kas desa, kepemudaan, dan organisasi social lainnya.
Pelaksanaan bagi hasil umumnya dilakukan pada saat panen, baik pada saat panen antara (peremajaan) maupun pada saat panen akhir.
Tetapi jika disepakati kedua belah pihak dan setelah dibahas dan dipahami bersama segala dampak dan kemungkinannya, bagi hasil dapat pula dilakukan pada saat pohon masih berdiri yaitu minimal pada umur pohon mencapai 4 tahun (setelah penjarangan I), dengan asumsi bahwa pohon pada umur tersebut merupakan pohon terseleksi dan sudah bebas dari aktifitas pemeliharaan. Jika pelaksanaan bagai hasil menggunakan pola ini maka setelah dilakukan pembagian secara adil dan proporsional para pihak dapat memanen sendiri pohon yang menjadi bagiannya setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan mitra kerjasama dengan ketentuan bahwa setelah panen para pihak tetap terikat dengan Perjanjian kerjasama sampai batas waktu kerjasama berakhir.
B. Permodalan

1. Biaya Pengelolaan Hutan Rakyat
Kebutuhan modal hanya dihitung secara sederhana per pohon per paket kerjasama. Penghitungan dilakukan seefisien dan serealistis mungkin, dengan memangkas berbagai pengalokasian biaya yang dipandang tidak terlalu prinsipil (yang justru biasanya jauh lebih menggelembung dari kebutuhan biaya riil).
Mekanismenya adalah : forum menginventarisir dan menyiapkan lahan yang sudah dikondisikan dengan pemiliknya untuk kegiatan kerjasama pengelolaan hutan rakyat pola bagi hasil. Selanjutnya forum melakukan persiapan dan penanaman pada lahan tersebut dengan bibit yang disiapkan forum, dan untuk itu penyerta menyetor modal/biaya sebesar ± Rp.2.500,-/pohon (dua ribu lima ratus rupiah per pohon). Jumlah biaya tersebut sudah termasuk untuk biaya pengganti bibit, biaya pengangkutan bibit dari persemaian ke lokasi penanaman, biaya penanaman plus pengawasan pekerjaan.
Walaupun dilaksanakan dengan biaya yang sangat kecil tetapi dari pengalaman di lapangan hasilnya masih memenuhi standar teknis.

Adapun biaya pemeliharaan yang terdiri dari pemupukan, penyiangan dan penggemburan tanah, serta pemangkasan/ pruning, jika berdasarkan standar yang optimum akan memerlukan biaya yang cukup besar dan secara psikologis hal itu akan membuat para rimbawan sangat terbebani dan akhirnya akan kehilangan daya tarik. Karena itu forum membuat saran/ solusi alternative dengan mentargetkan pemeliharaan pada tingkat minimum dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap kualitas dan kuantitas produksi.

Karena jenis yang dibudidayakan memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tempat tumbuh maka penurunan intensitas pemeliharaan tidak menimbulkan dampak yang fatal dan masih dapat dibenarkan secara teknis. (saran mengacu kepada hasil uji petik lapangan terhadap tanaman sejenis yang dikelola forum)
Pilihan bijaknya adalah : Dengan jumlah alokasi biaya yang sama, jauh lebih baik memiliki pohon berdiameter 25cm sebanyak seribu batang ketimbang pohon berdiameter 30cm tetapi hanya seratus batang.

Pemeliharaan yang ditargetkan yaitu pada tahun I dan tahun II, terdiri dari :
- Pemupukan sebanyak 2 x = Rp.1.500,-/phn (thn I =Rp.500/phn, thn II =Rp.1000/ph)
- Penyiangan + pruning 3 x = Rp.1.500,-/phn (2x thn I, 1x thn II, @ Rp.500/phn)
Jumlah biaya pemeliharaan = Rp.3.000,-/phn
Total target biaya pengelolaan hutan rakyat sebesar Rp.5.500/pohon.

Pelaksanaan pemeliharaan ini bergantung kepada penyerta, jika penyerta sudah menyiapkan biaya maka forum akan melaksanakan kegiatannya (catatan : biaya pemeliharaan tidak disetorkan kepada forum secara kolektif untuk semua kegiatan, tetapi per-tahapan kegiatan dan baru disetorkan menjelang pelaksanaan kegiatan dimaksud).

Diluar standar minimum yang ditargetkan forum, jika dikehendaki para penyerta dapat meningkatkan dan mengintesifkan pemeliharaan tanaman-nya.

2. Paket Permodalan
Terdapat 2 alternative paket permodalan bagi para penyerta, yaitu :
a. Penyerta tunggal, diperuntukan bagi penyerta yang ingin berdiri sendiri secara penuh dalam membiayai paket kerjasama. Terhadap paket ini pihak penyerta menandatangani langsung perjanjian kerjasama dengan pemilik lahan, sementara forum hanya bertindak sebagai pendamping dan mediator

b. Penyerta gabungan, diperuntukan bagi para penyerta yang memiliki modal terbatas sehingga tidak dimungkinkan untuk berdiri sendiri dalam paket kerjasama. Untuk paket ini penandatanganan perjanjian kerjasama dilakukan oleh forum, tetapi dalam perjanjian tersebut mencantumkan identitas para penyerta termasuk struktur permodalannya. Hal ini sebagai bentuk transparansi dan kemudahan bagi para penyerta - sekecil apapun modal yang disertakan - agar dapat mengetahui dan memonitor secara langsung investasinya.
Alokasi biaya pengelolaan yang sangat kecil ditambah alternative paket permodalan yang ditawarkan forum ini merupakan salah satu daya tarik dan kelebihan mendasar jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga kemitraan hutan rakyat lain yang telah ada. Dengan pola ini - secara empiric - keuntungan usaha yang akan diperoleh pihak penyerta akan jauh lebih besar, disamping itu para penyerta akan mendapat kepastian selama berinvestasi, karena modal yang disertakan tidak dikelola secara global tetapi langsung dialokasikan per paket sehingga sejak dini penyerta sudah mengetahui di lokasi mana investasinya ditanamkan, dan sejak dini pula penyerta sudah dituntut untuk berperan aktif dalam menyikapi dan mengelola hutan rakyat yang menjadi hak kerjasamanya.
C. Jangka Waktu Kerjasama
Jangka waktu kerjasama ditetapkan selama 10 (sepuluh) tahun, hal ini dimaksudkan untuk memberi ruang gerak yang ideal untuk suatu pengusahaan hutan rakyat.
Pengusahaan hutan rakyat secara dominan dipengaruhi oleh alam lingkungan baik yang bersifat teknis (terukur) maupun yang non teknis (tak terukur). Meskipun jenis yang ditanam merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing species) dengan umur ekonomis antara 5 – 7 tahun, tetapi tidak tertutup kermungkinan pada kondisi tertentu terjadi kelambatan pertumbuhan. Sebaliknya pada lahan yang cocok akan diperoleh pertumbuhan yang cepat sehingga secara ekonomis dapat dilakukan pemanenan antara (peremajaan) pada tahun ke 5 dan pada sisa waktu kerjasama (5 tahun) masih dapat dilanjutkan dengan pemeliharaan trubusan yang biasanya pertumbuhan trubusan jauh lebih cepat, selanjutnya pada tahun ke 10 dapat dilakukan panen ke 2 (panen akhir kerjasama)
D. Luasan per Paket Kerjasama

Penentuan luas tidak dibatasi tergantung kepemilikan lahan yang tersedia. Secara umum pemilikan lahan hutan rakyat yang ada di kabupaten Ciamis dan Banjar minimal 100 bata (0,14 ha). Luasan tersebut dipandang cukup ekonomis untuk dikelola melalui kerjasama bagi hasil. Disamping itu kondisi tersebut justru menjadi kemudahan bagi penyerta yang memiliki modal terbatas tetapi ingin menjadi penyerta tunggal. Hanya dengan biaya awal sebesar Rp.875.000,- saja penyerta sudah bisa menanam sebanyak ± 350 pohon (350 phn x Rp.2.500,-)

E. Teknik Budidaya

1. Jenis Pohon dan Daur Produksi
Penentuan jenis pohon didasarkan atas pertimbangan aspek kesesuaian tempat tumbuh, nilai ekonomis, efisiensi pemeliharaan, manfaat penggunaan, dan prospek pasar.
Untuk memenuhi criteria tersebut dilakukan pemilihan jenis pohon yang berdasarkan hasil penelitian memiliki beberapa keunggulan atara lain pertumbuhan yang cepat, lebih tahan hama/penyakit, kualitas kayu yang baik, serta peruntukkan dan penggunaan kayu yang luas

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka forum menetapkan beberapa jenis tanaman pionir, seperti :
- Jati putih (Gmelina arborea)
- Mangium (Acacia mangium)
- Krasikarpa (Acacia crassicarpa)

Daur produksi disesuaikan dengan tujuan pengusahaan. Atas pertimbangan prospek pasar kayu rakyat yang cukup pesat pada saat ini, daur tanaman ditargetkan antara 5 – 10 tahun.

2. Pola Tanam dan Jarak Tanam
a. Pola Tanam
Untuk memperoleh produksi kayu secara optimum dalam satu kesatuan luas serta atas pertimbangan karakter jenis pohon maka pola tanam yang dipilih adalah monokultur

b. Jarak Tanam
Nurhasybi dan Hero Dien P.Kartiko (2003) menyarankan penggunaaan jarak tanam jati putih 3m x 3m, dan selanjutnya dilakukan penjarangan pada tahun ke 3, ke 5, ke 7, dst.

Sedangkan Dian Lazuardi (2005) menyatakan jarak tanam terbaik untuk meningkatkan produksi akasia mangium adalah 2,5m x 2,5m, dan dari hasil penelitiannya hanya berbeda 0,6% dengan jarak tanam 2m x 2m.

Penentuan jarak tanam disamping mempertimbangkan tujuan produksi, sifat pertumbuhan pohon, juga dari aspek dan sifat lainnya, seperti tipe percabangan. Pohon dengan tipe percabangan yang berat (seperti jati putih) umumnya menghasilkan batas dengan kualitas yang rendah akibat banyaknya mata kayu dan batang cenderung bengkok secara kompleks, sehingga batang yang potensial dimanfaatkan relative sedikit. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan teknik sivikultur melalui pengaturan jarak tanam yang lebih rapat.

Hasil pengamatan terhadap tegakan jati putih di 3 lokasi berbeda yaitu di Kabupaten Cilacap, (jarak tanam 2m x 2m), Kabupaten Majalengka (jarak tanam 2m x 2m) dan Kabupaten Tasikmalaya (jarak tanam 3m x 3m), menunjukkan bahwa pada jarak tanam 2m x 2m (Cilacap dan Majalengka) mayoritas batang lurus dengan bebas cabang rata-rata cukup tinggi, bahkan di lokasi Majalengka pada umur tegakan 7 (tujuh) tahun terdapat pohon dengan diameter 30cm up dengan tinggi bebas cabang ≥ 15 meter. Sementara itu pada jarak tanam 3m x 3m (Tasikmalaya) bebas cabang tertinggi hanya ± 4 meter, percabangan berat dan mayoritas batang bengkok.

Karena itu dalam pengembangan hutan rakyat ini jarak tanam ditetapkan 2m x 2m untuk semua jenis, kecuali pada lahan dengan kemiringan yang terjal jarak tanam adalah 2m x 1,5m (untuk kepentingan koservasi tanah), selanjutnya akan dilakukan penjarangan pada umur yang disesuaikan. Dengan jarak tanam tersebut maka jumlah pohon/ha adalah ± 2.500 pohon.

3. Prakiraan Produksi
a. Tebangan Penjarangan
Penjarangan diperlukan untuk memberi ruang tumbuh yang lebih ideal guna menjaga dan meningkatkan kualitas produksi.
Penjarangan dilakukan terhadap pohon yang tertekan (inferior), baik pertumbuhan maupun bentuk batang sehingga dipandang tidak ekonomis untuk dipertahankan

Jika daur produksi ditetapkan selama 10 tahun, maka produksi penjarangan sebagai berikut :
- Tebangan Penjarangan I, dilakukan pada saat tanaman berumur 3 tahun sebanyak ± 30% dari total tanaman atau ± 750 pohon.
- Tebangan Penjarangan II, dilakukan pada saat tanaman berumur 5 tahun sebanyak ± 20% dari total tanaman atau ± 500 pohon.
Volume produksi hasil penjarangan II sementara diasumsikan rata-rata diameter 15cm, dengan rata-rata tinggi bebas cabang 7 meter, atau = 0,0865m3/pohon (factor bentuk 0,7), maka total produksi penjarangan II adalah sebanyak 43,25m3/ha
- Tebangan Penjarangan III, dilakukan pada saat tanaman berumur 7 tahun sebanyak ± 20% dari total tanaman atau ± 500 pohon.
Volume produksi hasil penjarangan III sementara diasumsikan rata-rata diameter 20cm, dengan rata-rata tinggi bebas cabang 7 meter, atau = 0,1539m3/pohon (factor bentuk 0,7), maka total produksi penjarangan II adalah sebanyak 76,95m3/ha

b. Tebangan Produksi (Tebangan Akhir)
Dilaporkan bahwa jati putih umumnya memiliki tinggi 20 meter dengan tinggi bebas cabang 6 – 9 meter (Alrasyid dan Widiarti 1992, dalam Aminah dan Sudrajat,2004). Lebih lanjut Soerianegara dan Lemmens 1992 (Achmad dan Puspitasari, 2001) menyatakan produksi tertinggi kayu jati putih mencapai 304m3/ha pada umur 10 tahun pada tanah yang subur.

Dengan pengaturan jarak tanam yang telah disesuaikan dari 3m x 3m menjadi 2m x 2m diharapkan tegakan tinggal pada umur 10 tahun memiliki diameter rata-rata 30cm dengan tinggi rata-rata 10 meter, atau volume rata-rata sebesar 0.495m3/phn, maka total produksi/ha adalah :
V = Jumlah tegakan tinggal x 0.495m3 = 750 x 0.495m3 = 371.25m3/ha

F. Keuntungan dan Analisis Usaha
1. Keuntungan Usaha
Tabel 1.Prakiraan Keuntungan Usaha Hutan Rakyat per-Hektar
No. Uraian Jml (Rp.)
a. Produksi
- Tebangan Penjarangan I
- Tebangan Penjarangan II, 43,25m3 x Rp.200.000
- Tebangan Penjarangan III, 76,95m3 x Rp.300.000
- Tebangan Akhir 371,25m3 x Rp.500.000
Rp. –
Rp. 8.650.000
Rp. 23.085.000
Rp.185.625.000
Jml. A Rp.217.360.000
b. Biaya Investasi (bunga investasi tidak dihitung)
Rp.5.500 x 2.500
Rp. 13.750.000
c. Keuntungan Usaha/laba (a-b) Rp.203.610.000
Catatan :
- PT. Albasi Parahiang (Banjar), pada tahun 2006 bersedia membeli kayu logs jati putih diameter 30cm seharga Rp.700.000/m3 dengan catatan ada kontinuitas pasokan dalam jumlah besar
- Pada tahun 2008, Permintaan kayu logs jati putih dari industry kayu/ eksportir di Jogjakarta, untuk diameter 20cm seharga Rp.750.000/m3
- Sebagai pembanding, harga logs sengon diameter 25cm di wilayah Pangandaran/ Sidamulih pada tahun 2008 = Rp.500.000,/m3

2. Analisis Usaha
Tabel 2. Analisis Usaha Hutan Rakyat per-Hektar (x 1000)
Thn Benefit Cost Net Benefit (B-C) Discount Factor (12%) NPV
I - 10.000 (10.000) 0.893 (8.930,00)
II - 3.750 (3.750) 0.797 (2.988,25)
III - - - 0.712 -
IV - - - 0.636 -
V 8.650 - 8.650 0.567 4.904,55
VI - - - 0.507 -
VII 23.085 - 23.085 0.452 10.434,42
VIII - - - 0.404 -
IX - - - 0.361 -
X 185.625 - 185.625 0.322 59.771,25
Jml 217.360 13.750 203.610 - 63.191,97
Net Present Value = 63.191.970
Net Benefit/Cost Ratio = 75.110,22 = 6.302
11.918,25
V. PEMBAHASAN

Konsep baru model kelembagaan hutan rakyat yang ditawarkan oleh forum Hutan Rakyat – Rimbawan “biNAwaNAenterprise“, pada mulanya memunculkan beragam pendapat, tanggapan, dan pertanyaan yang titik pangkalnya antara lain berawal dari :

1. Belum diketahuinya jenis-jenis komoditas Kehutanan yang menguntungkan

Ketika forum menawarkan tanaman jati putih sebagai jenis potensial untuk dikembangan di hutan rakyat - yang kebetulan belum dikenal luas di kalangan masyarakat petani/perkayuan hutan rakyat di wilayah Ciamis-Banjar (bahkan di sebagian kalangan rimbawan sekalipun) – maka pertanyaan yang pertama mengemuka adalah mengenai prospek pasar “Apakah kayu jati putih akan laku di pasaran ?
Jawabannya sederhana dengan pertanyaan sederhana : Adakah saat ini kayu yang tidak laku dipasaran? bukankah kayu kedondong, kayu petei, bahkan kayu randu sekalipun dicari oleh konsumen?
Bagaimana halnya dengan jati putih yang memiliki keunggulan relative diatas sengon bahkan mahoni - kualitas kayunya, peruntukkan/penggunaan kayunya, dll - akankah ditolak pasar?
Mengapa jati putih menjadi pilihan?
disamping bertujuan memperkaya keragaman jenis sehingga diharapkan menjadi subtitusi dan bahkan mampu meningkatkan nilai ekonomis hutan rakyat sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, juga keunggulannya yang relative paling menonjol adalah lebih tahan hama/penyakit.

Pada tahun 2006 forum ini pernah ditawari lahan seluas 5 ha di wilayah Batulawang Banjar untuk dikelola melalui pola bagi hasil tetapi dengan satu syarat harus dengan jenis sengon (albasia), alasannya karena sengon pada saat itu sangat prospektif (pengetahuan pemilik lahan baru jenis sengon yang prospektif).

Penawaran tersebut terpaksa ditolak karena kami mengetahui bahwa saat itu di Jawa Timur sedang terjadi wabah penyakit karat puru (karat tumor) yang menyerang dan mematikan tanaman sengon dengan cepat, dan kami memprediksikan bahwa dalam 3 – 4 tahun kedepan Jawab Barat beresiko terserang wabah penyakit yang sama.

Prediksi kami terbukti, dan tahun ini penyakit tersebut sudah menyebar secara sporadis di wilayah Ciamis yang merupakan sentra sengon terbesar di Jawa Barat.
Alangkah naifnya jika kami melakukan penanaman sengon pada waktu itu
Mengenai sifat kayunya Balfas 1995 (Achmad, 2002) telah membandingkan sifat pengggergajian dan pengerjaan kayu jati putih dengan 3 (tiga) jenis lain (sengon, leda dan mangium), dengan ringkasan hasil sebagai berikut :
- Tingkat kekerasan jati putih menempati urutan ketiga setelah mangium dan leda,
- Kayu jati putih mudah digergaji dengan kualitas permukaan halus baik pada kondisi kering maupun basah,
- Sifat pemesinan kayu jati putih menempati urutan pertama dari ketiga jenis yang dibandingkan,
- Sifat penyerutan dan pengampelasan kayu jati putih digolongkan sebagai istimewa, dan
- Sifat pembentukan kayu jati putih tergolong baik.

Kendati demikian jikalau analisis usaha hutan rakyat pada tabel 1 dan table 2 di pada bab terdahulu dipandang melangit, spektakuler, dan meragukan maka kita akan menghitungnya dengan parameter yang sangat sederhana “Standar Kayu Bakar”, sebagai berikut :
a. Biaya pengusahaan hutan rakyat per hektar, 2500phn x Rp.5.500 = Rp.13.750.000,-

b. Nilai kayu per batang diasumsikan dengan harga kayu bakar (± Rp.50.000,/ staple meter, itupun bukan staple meter sebenarnya karena panjangnya cuma 60cm )
- Penjarangan II, diameter batang rata-rata 15cm ± 500 btg/ha,
asumsi harga/btg = 0.5 sm kayu bakar = Rp.25.000/btg =Rp. 12.500.000,-
- Penjarangan III, diameter batang rata-rata 20cm ± 500 btg/ha,
asumsi harga/btg = 1 sm kayu bakar = Rp. 50.000/btg =Rp. 25.000.000,-
- Tebangan akhir, diameter batang rata-rata 30cm ± 750 btg/ha,
asumsi harga/btg = 1,5 sm kayu bakar = Rp. 75.000/btg =Rp. 56.250.000,-
TOTAL PENJUALAN/ha =Rp.93.750.000,-
c. Keuntungan usaha (a – b) = Rp.80.000.000,-/ha
Dengan parameter harga kayu bakar saja menanam pohon jati putih tetap menguntungkan.
2. Minim informasi pasar

Sesungguhnya kayu jati putih bukan jenis baru dalam dunia perdagangan kayu internasional, bahkan saat ini jika kita membutuhkan kayu jati putih cukup memesannya lewat internet.

Jikalau dalam pasaran kayu di wilayah Ciamis Banjar selama ini tidak dikenal kayu jati putih, hal itu bukan sesuatu yang mengherankan karena memang barang tersebut tidak pernah ada di sini. Jangankan jati putih, komoditas gaharu-pun yang harga jualnyanya jutaan rupiah per-kg tidak ada pasarannya di Ciamis, lantas apakah kita akan mengatakan bahwa gaharu tidak laku?


3. Keterbatasan akses pasar

Posisi tawar dalam pemasaran komoditas hasil hutan rakyat ditentukan antara lain oleh kualitas, kuantitas, juga kotinuitas.
Salah satu contoh pada tahun 2006 kami mendapat konfirmasi dari salah satu industry kayu yang cukup besar (PT. Albasi Parahiang, Banjar) bahwa perusahaan tersebut bersedia membeli kayu jati putih asalkan jumlah dan kontinuitas pasokan terjamin.

Disamping itu secara umum harga jual juga ditentukan oleh alur/rantai pasar, dan tempat berlangsungnya transaksi. Ketersediaan pasokan dan tinggi rendahnya volume permintaan berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya, hal ini akan berpengaruh secara dominan terhadap perbedaan harga bagi komoditas yang sama pada waktu yang sama.
Pesan yang ingin kami sampaikan adalah : Ketika petani hutan rakyat di Ciamis katakanlah mengetahui bahwa harga jual kayu jati putih di Surabaya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Bandung, tetapi karena petani tersebut hanya memiliki 10 batang pohon jati putih maka adalah tidak mungkin yang bersangkutan berangkat ke Surabaya untuk memasarkan jati putihnya.
Bandingkan dengan potensi forum ini, pada tahap permulaan saja sudah mengembangkan 40.000 batang jati putih, apakah mungkin akan memilih menjualnya kepada pengepul local dengan harga local pula?
potensi yang besar dengan sendirinya akan mendapatkan peluang akses pasar yang lebih besar disamping akan berpengaruh secara positive terhadap posisi tawar.
Jadi betapa pentingnya kita menumbuhkan komitmen bahwa bekerjasama/ kooperatif jauh akan lebih kokoh dan menguntungkan, yang salah satu manfaatnya adalah untuk meningkatkan posisi tawar kita.
4. Masalah Modal,

Minat dan keinginan sebagian rimbawan untuk mengelola hutan rakyat bukan baru pertama kali ini muncul, tetapi setiap kali wacana itu muncul dengan serta merta terbentur oleh kendala besar, (seolah-olah) butuh modal yang luar biasa, harus membeli lahan terlebih dahulu, belum lagi biaya pengelolaannya, dll

Sekarang sudah ada solusi yang mematahkan pandangan kadaluarsa tersebut, dengan biaya hanya sebesar 2.5 juta saja rimbawan sudah dapat menanam seribu pohon.

Besarkah biaya tersebut jika dibandingkan dengan kebiasan buruk kita meng-hamburkan uang pada hal-hal yang tidak penting ?
contoh, seorang perokok menghabiskan rokok dalam sehari 2 bungkus = 20.000/hari = 600.000/bulan = 7.200.000,-/tahun. Ternyata alokasi biaya untuk rokok saja jika dikonversi kepada penanaman sudah bisa tertanam hampir 3.000 pohon/tahun. Jadi sadar atau tidak betapa tidak bijaknya jika untuk menanam 1.000 pohon saja lantas kita berkilah “tidak punya biaya”.

Dari sudut pandang yang lain kita akan melihat lagi :
Dengan uang hanya 2,5 juta kira-kira kita bisa membangun usaha apa ? jumlah yang terlalu kecil sehingga kita sulit menentukan uang sebesar itu akan dipergunakan sebagai modal usaha.
Atau mungkin pilihan kita akan menabungkannya di bank, tetapi apakah bisa 2,5 juta menjadi 5 juta misalnya hanya dalam waktu 5 tahun? jangan-jangan baru sebulan malah justru sudah keburu habis !

Jika biaya menanam seribu pohon saja ternyata jauh lebih kecil dari biaya rokok, maka alangkah tidak bijak jika kita tidak menanam.
Bahkan yang lebih bijak adalah lupakan saja bahwa kita pernah menanam (supaya tidak terbebani dengan perasaan lama), dan pada saat anak kita mendaftar masuk TK/SD, bukalah catatan harian dan file kita, maka akan mendapati bahwa kita ternyata memiliki 1000 pohon = ratusan meter kubik kayu = entah berapa nilai rupiahnya?

Pernahkah dilaporkan seorang petani hutan rakyat atau tuan tanah sekalipun menjual 1000 pohon hasil hutan rakyatnya sekaligus ? sebaliknya seorang rimbawan yang tergabung dalam Forum Hutan Rakyat - Rimbawan “biNAwaNAenterprise“ yang nota bene tidak memiliki lahan, akan memanen ribuan pohon setiap tahun, mulai tahun ke-5 INSYA ALLOH halalan toyyiban.

Uniknya dalam forum ini terbuka peluang profit ganda :
a. jika seorang penyerta menanam selama 5 tahun berturut-turut, maka yang bersangkutan akan memanen selama 10 tahun berturut-turut (catatan : pada tempat yang subur plus pemeliharaan yang intensif jati putih sudah bisa dipanen pada umur 5 tahun, sedangkan waktu kerjasama masih tersisa 5 tahun lagi untuk pemeliharaan trubusan (jati putih memiliki kemampuan yang tinggi untuk menumbuhkan trubusan)

b. Setelah kerjasama berakhir pemilik lahan dapat melanjutkan pemeliharaan trubusannya untuk kedua kali, ketiga kali, dst.

5. Waktu dan Resiko Usaha

Waktu, jika kita pernah mempunyai bayi : rasanya baru kemarin kita mengganti popoknya, tidak terasa hari ini masuk TK (5 tahun bukan ?). Kita sekolah di SD 6 tahun, cukup lama tetapi tidak terasa kita jalani ! Bahkan kredit kendaraan, rumah, bank, waktunya bertahun-tahun, mengapa kita tempuh juga bukankah terlalu lama ? (malahan untuk mendapatkan kredit terkadang kita memilih waktu yang lama)

Resiko takut dikhianati oleh pemilik lahan, apakah hanya pada kegiatan usaha hutan rakyat yang mengandung resiko? bukankah semua bisnis besar juga melakukan kerjasama dalam bentuknya masing-masing? Bukankah semua aktifitas dan interaksi kita beresiko, bahkan dalam perjalanan ke kantor saja beresiko tabrakan di jalan? bahkan pasar, toko, pabrik, bisa saja terbakar? bahkan makan bakso saja beresiko kematian (jika makan baksonya di tengah jalan tol) ! lagi-lagi kita dipermainkan oleh alur perasaan dan fikiran searah serta sikap tidak bijak hingga logika jadi terbalik, dan akhirnya kehilangan keberanian dan kesempatan untuk berbuat.

Segala sesuatu adalah beresiko maka untuk itu dirumuskanlah apa yang disebut “ a t u r a n m a i n ”.


VI. PENUTUP


Tugas pemerintah masih cukup berat, karena sampai hari ini saja upaya yang dilakukan secara prioritas baru kepada tahap rehabilitasi lahan kritis, melalui program GERHAN, GRLK, dll. Sedangkan peningkatan kualitas dan nilai ekonomis hutan rakyat lebih diposisikan sebagai efek dari kegiatan tersebut.
Jika baru pada upaya tersebut saja berjalan tertatih-tatih karena berbagai kendala yang dihadapi, lantas bagaimana mengantisipasi permintaan pasokan kayu yang semakin meningkat secara dramatis?
Ini menjadi tanggung jawab kita semua, dan Forum Hutan Rakyat – Rimbawan “biNAwaNAenterprise“ menawarkan salah satu solusinya melalui Kelembagaan Hutan Rakyat Pola Bagi Hasil antara pemilik lahan dengan rimbawan, yang secara prioritas dilaksanakan pada lahan yang tidak produktif (lahan tidak produktif level/statusnya setingkat di atas lahan kritis),
Akan lebih bagus jika model kelembagaan ini dapat dilaksanakan pada lahan kritis karena disamping biaya pembersihan/ penyiapan lahan menjadi lebih murah juga sekaligus menjawab lebih dari satu masalah lingkungan hidup. Tetapi - khabar baiknya - di wilayah Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar ini sudah hampir tidak ada lagi lahan kritis.
Dan akan lebih bagus lagi jika model kelembagaan ini diikuti dan dilaksanakan bukan hanya oleh rimbawan di Kabupaten Ciamis Banjar, tetapi di seluruh Kabupaten se Indonesia oleh seluruh pegawai pemerintah, TNI, BUMN, swasta, dst.
Hutan rakyat adalah sebuah ikon berharga, karena itu jika kita masih enggan meliriknya dengan apa yang disebut kepedulian lingkungan, kita ubah saja paradigmanya dan kita melihatnya dari sudut pandang yang lebih memiliki ‘daya tarik‘ yaitu ‘sebagai peluang bisnis‘ yang sangat prospektif. Lahan kritis atau lahan tidak produktif yang sedemikian mudah kita jumpai dimana-mana dan sedemikian lama kita abaikan dan sepelekan sesungguhnya adalah peluang emas.

Kini saatnya “era kebangkitan Hutan Rakyat”,
Mulailah dari diri kita,

Kita harus ubah mimpi buruk dengan harapan, kita cegah air mata dengan “mata air”
(M58)

VII. SARAN


1. Kepada para pimpinan instansi khususnya tempat para rimbawan bekerja dan pejabat lain yang kompeten pada level apapun dan eselon berapapun, dengan Nama Alloh yang maha Lembut kami menyarankan seyogyanya beritikad baik memberi apresiasi dan dukungan yang luas atas terbentuknya model kelembagaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar ini, bahkan akan sangat terhormat jika berkenan bergabung dalam forum yang ‘bersahaja tapi elegan’ ini, yang Insya Alloh akan membawa kemaslahatan bagi kita semua.

2. Kepada para rimbawan khususnya yang berbasis disiplin ilmu kehutanan bersegeralah untuk bergabung, suatu kehormatan jika anda berdiri di front terdepan forum ini karena kalangan rimbawan yang bukan berbasis disiplin ilmu kehutanan saja sudah banyak yang cerdas menangkap peluang emas ini dengan bergabung bersama forum

Daftar pustaka :

1. Nurhasybi dan Hero Dien P. Kartika, 2003, Kiat Membangun Hutan Tanaman Jati Putih (Gmelina arborea Linn), Info Benih Vol.8 No.1
2. Dian Lazuardi, 2005, Optimalisasi Hasil melalui Pengaturan Jarak Tanam HTI Acacia mangium untuk Produksi Pulp, Prociding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium
3. Aam Aminah dan Dede J Sudrajat, 2004. Jati Putih (Gmelina arbrea) : Jenis Potensial untuk Hutan Rakyat, Surili Vol.32 No.3
4. Budiman Achmad, 2002. Jati Putih Mania (bagian 2), Warta Nauli Vol.2 No.1
5. Nana Sutrisna, 2006, Teknik Budidaya Jati Putih (Gmelina arborea Roxb), Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pemayarakatan Hasil Penelitian (Gelar Teknologi) Loka Litbang Hutan Monsoon Tahun 2006
6. Nana Sutrisna, 2007. Forum Hutan Rakyat – Rimbawan “biNAwaNAenterprise“, Sumbangsih dan Karya Nyata Rimbawan terhadap Pengembangan dan Peningkatan Nilai Ekonomis Hutan Rakyat, Pekan Hutan Rayat II 2007, Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.


Lampiran I.
Realisasi Penanaman Hutan Rakyat Pola Bagi Hasil
FORUM HUTAN RAKYAT – RIMBAWAN
“biNAwaNAenterprise“
Tahun Tanam 2005 S/D 2009

No/
Thn Nama Letak Lokasi Luas (ha) Jml Pohon (btg) Jenis Pohon Ket
Penyerta Pemilik Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8
2005
1. Nana Sutrisna Umum Talaga, Majalengka 1.50 3.000 Jati putih Lampuyang
2. Eka Omon Sda 0.10 250 Sda Lampuyang
3. Nana Sutrisna Emi Sda 0.14 350 Sda Lampuyang
Jml 2005 3.600
2006
1. Nana Sutrisna Wandi Cisaga, Ciamis 1.75 4.000 -Jati putih
-Mangium Bangun harja
2. Yoyok Artoyo Hendra Sda 1.75 4.000 Sda Bangun harja
3. Nana Sutrisna H.Novantono Pataruman, Banjar 0.30 700 -Jati putih
-Mangium
4. Anas Badrunasar Sunarti Sda 0.28 700 Jati putih
5. Nana Sutrisna H.Koswara Baregbeg, Ciamis 0.084 140 Jati putih Sukamaju
6. Nana Sutrisna Rina Dwi K. Sda 0.25 850 Jati putih Sukamaju
Jml 2006 10.390
2007
1. Nana Sutrisna H.Novantono Pataruman, Banjar 0.50 1.150 Jati putih
2. Nana Sutrisna H.Koswara Batulawang, Banjar 1.00 1.850 -Jati putih
-Mangium
-Krasikarpa
-Kokarpa
3. Nana Sutrisna Nana Suryana Sda 0.70 1.000 Jati putih
4. Nana Sutrisna Lili Pamarican, Ciamis 0.30 700 Jati putih
5. Nana Sutrisna Ayo Sda 0.25 600 Jati putih
6. Nana Sutrisna Aja Sda 0.15 400 Jati putih
7. Nana Sutrisna Kaswo Sda 0.14 300 Jati putih
8. Dedi Hamim Sda 1.00 2.000 Jati putih
9. Nana Sutrisna Ny.(Alm) Arsidi Cijeungjing, Ciamis 0.60 1.450 Jati putih Pamalayan
10. Nana Sutrisna Rina Dwi K. Baregbeg, Ciamis 0.20 540 Jati putih Sukamaju
11. Suyarno Dedi Sda 0.45 1.000 Jati putih Baregbeg
Jml 2007 10.990




2008…..
1 2 3 4 5 6 7 8
2008
1. Suyarno Dedi Sda 0.60 1.500 Jati putih Baregbeg
2. Nana Sutrisna Rahmawati Pataruman, Banjar 0.37 500 Jati putih
3. Yoyok Artoyo Wandi Cisaga, Ciamis 0.15 400 Mangium Bangun harja
Jml 2008 2.400
2009
1. Suyarno Pm Cijeungjing, Ciamis 0.45 1.000 Jati putih Kertaharja
2. Darmawan Pathi, BScF, MP. Pm Sda 0.50 1.100 Jati putih Ciawitali
3. Darmawan Pathi, BScF, MP. Pm Sda 0.45 900 Jati putih Kertaharja
4. Adi Rahman Pm Sda 0.14 350 Kertaharja
5. Adi Rahman Pm Sda 0.14 350 Jati putih Kertaharja
6. Adi Rahman Pm Sda 0.15 400 Jati putih Kertaharja
7. Budi Rahmawan Pm Sda 0.15 800 Jati putih Bojong
8. Budi Rahmawan Pm Sda 0.45 400 Jati putih Kertaharja
9. Budi Rahmawan Rd.Sarif Sda 0.45 400 Jati putih Kertaharja
10. Budi Rahmawan Rd.Sarif Sda 0.40 800 Jati putih Kertaharja
11. Iwan Setiawan Rd.Sarif Sda 0.30 700 Jati putih Kertaharja
12. Maman Sukirman Pm Cimaragas, Ciamis 2.45 6.000 Jati putih
13 Dedi Rd.Sarif Cijeungjing, Ciamis 0.14 600 Manglid Kertaharja
Jml 2009 13.800
TOTAL 2005 s/d 2009 41.180


Lampiran 2.
RENCANA PENANAMAN
(PENYERTA YANG SUDAH MENDAFTAR)
Pada FORUM HUTAN RAKYAT – RIMBAWAN
“biNAwaNAenterprise“

MUSIM TANAM 2009/2010

No/
Thn Nama Letak Lokasi Luas (ha) Jml Pohon (btg) Jenis Pohon Ket
Penyerta Pemilik Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8

1. Koperasi Rimbawan ‘DAMAR’ 1.000 Jati putih Koperasi Daya Malar Raharja
2. Suyarno 3.000 Jati putih BPKC
3. Adi Rahman 1.000 Jati putih BPKC
4. Dharmawan Pathi 5.000 Jati putih BPKC
5. Nana Sutrisna 10.000 Jati putih BPKC
6. Tatang 2.500 Jati putih Perhutani
7. Rusmana 2.500 Jati putih Dishut
8. Wahyu 500 Jati putih Dishut
9. Dedi 1.000 Jati putih BPKC
10. Anas Badrunasar 1.000 Jati putih BPKC
11. Budi Rahmawan 10.000 Jati putih BPKC
12. Darsono 1.000 Jati putih BPKC


Catatan : Calon penyerta yang lainnya belum diinventarisir/ belum mendaftar